Kandang Kelompok

Kandang Kelompok ”Model Grati” merupakan model perkandangan yang dirancang dengan memperhatikan dalam satu ruang kandang ditempatkan beberapa ekor sapi induk/calon induk.

Ayam KUB (Ayam Kampung Unggul Badan Litbang Pertanian)

Bobot badan : 1.200 -1.600 gram, Bobot telur : 35-45 gram, Umur pertama bertelur lebih awal (20 - 22 minggu),Produktivitas telur lebih tinggi (130 -160 butir/ekor/tahun, Produksi telur (henday) : 50 %, Puncak produksi telur : 65 %,Lebih tahan terhadap penyakit

Rabu, Juni 24, 2015

Ketersediaan Sumber Hijauan di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit untuk Penggembalaan Sapi


Laju pertambahan kebun kelapa sawit di Indonesia sejak tahun  2008-2011 mencapai 6,92%, yaitu meningkat dari 7.363.703 menjadi 7.873.384 ha. Vegetasi yang tumbuh di area perkebunan kelapa sawit merupakan gulma bagi tanaman pokoknya.

Perkebunan kelapa sawit ini mempunyai peluang untuk usaha peternakan sistem integrasi kelapa sawit-sapi telah dikenal dan banyak diaplikasikan, melalui penggunaan limbah kebun kelapa sawit, limbah pengolahan sawit, pelepah sawit sebagai pakan ternak dan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman kelapa sawit.

Pengelolaan kebun kelapa sawit termasuk padat modal, antara lain untuk perawatan tanaman, pengendalian gulma, pengadaan pupuk organik dan pupuk anorganik. Adanya penggembalaan sapi di perkebunan sawit, biaya pengelolaan kebun sawit dapat diminimalisir dan input produksi kelapa sawit dapat ditekan. Salah satu sistem integrasi kelapa sawit-sapi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah sistem penggembalaan dengan rotasi.

Jenis tumbuhan di bawah tanaman kelapa sawit antara lain rumput-rumputan dan tumbuhan berdaun sempit maupun berdaun lebar. Tumbuhan tersebut ada yang disukai ternak, ada yang tidak disukai atau beracun untuk ternak. Ketersediaan tumbuhan di bawah kelapa sawit bervariasi tergantung dari umur kelapa sawit.

Salah satu cara untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas hijauan di bawah kelapa sawit antara lain dengan introduksi tanaman pakan ternak (TPT) unggul di sela-sela tanaman kelapa sawit. Kapasitas tampung vegetasi di bawah perkebunan kelapa sawit bervariasi. Beberapa studi yang telah dilakukan melaporkan bahwa integrasi kelapa sawit-sapi dengan sistem grazing secara ekonomi feasible.

Puslitbangnak

Selasa, Juni 23, 2015

Karakteristik dan Manipulasi Mikrobia Rumen Hemat Emisi Gas Karbon dan Metan dalam Integrasi Sapi Sawit

Gas metan yang berasal dari total populasi ternak ruminansia yang ada di dunia telah menyumbang 12-15% dari total aliran gas metan di atmosphere.  Banyak faktor yang mempengaruhi emisi metana dan karbon dari ternak ruminansia. Diperlukan strategi memanipulasi pakan dan ekosistem rumen guna  mengurangi emisi gas metan asal ternak yang sekaligus dapat meningkatkan pertambahan bobot badan ternak. Tujuan Penelitian adalah : (1) Memperoleh karakteristik  Deoxyribose Nucleic Acid (DNA)  mikrobia rumen (bakteri, protozoa, jamur) pencerna    serat hemat emisi gas karbon dan  metan, (2) Mengidentifikasi kandungan emisi gas karbon dan metan  hasil ekshalasi, dan (3) Menentukan ransum sapi potong yang efisien berbasis kelapa sawit  rendah emisi gas karbon dan metan. Penelitian dilakukan dalam dua kegiatan penelitian yaitu:

Kegiatan 1, merupakan tahapan karakterisasi DNA mikrobia rumen (bakteri, protozoa dan jamur) penghasil gas karbon dan metan yang diisolasi dari rumen sapi (berfistula) yang mendapat 3 (tiga) macam perlakuan pemberian pakan, yaitu (a)= pakan serat tinggi (kandungan > 26% SK), (b)= pakan serat sedang (15-25% SK), dan (c)= pakan serat rendah (<14% SK). 

Kegiatan 2, merupakan percobaan in vivo. Sebanyak  24 ekor sapi jantan (umur 11-I2) dimasukkan ke dalam kandang individu dan dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok pemberian pakan, yakni (A)= ransum serat tinggi (kandungan > 26% SK), (B) =ransum serat sedang (15-25% SK), dan (C) = ransum serat rendah (<14% SK). Lokasi percobaan di PTPN VI, Kab Batanghari (Jambi) dan di Kab. Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah). Parameter yang diukur: konsumsi dan konversi pakan, ekosistem rumen (VFA, pH, dan NH3 rumen), pertambahan bobot badan.

Luaran dalam tahapan ini adalah formulasi ransum hemat emisi gas karbon dan metan pada pakan berbasis kelapa sawit. Data yang diperoleh dalam kegiatan 1 dan 2, dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap pola searah (One Way Analysis) menggunakan program SPSS ver. 20. 

Hasil kegiatan 1, Evaluasi karakteristik DNA mikrobia rumen masih dilanjutkan pada TA 2014. Bakteri pada sapi fistula umumnya berbentuk cocci in pairs (gram+), cocci in clusters (gram+), dan rod with round ends (+/-). Sedangkan strain protozoa didominasi oleh Epipinium ecaudatum, Eremoplastron bovis, Eremoplastron bugalus, dan Entodinium quadriseuspis. Pada pakan serat berbasis non sawit, pakan berserat rendah menghasilkan kandungan CH4 (10,87 ml) lebih rendah (P<0,05) dibanding pakan serat sedang (23,92 ml) dan serat tinggi (26,72 ml). Namun demikian kandungan NNH3 pada pakan serat rendah (430,65 mg/L) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan pakan serat sedang (259,32 mg/L) dan serat tinggi (305,56 mg/L). Rataan populasi bakteri pada pakan  serat sedang (13,82x109/ml) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan pakan serat rendah (9,11 x 109/ml) dan serat tinggi (4,71x109/ml). Hasil yang sama ditunjukkan pada populasi protozoa bahwa protozoa pada pakan serat sedang (40,52x106/ml)  lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan pakan serat rendah (19,83 x 106) dan serat tinggi (15,67x106 ml). Menggunakan persamaan regresi persamaan Y = 0,034 X – 3,828, diprediksikan bahwa produksi gas metan pada kandungan SK tinggi berkisar 231,4 – 439,2 gram/hr, produksi gas metan pada kandungan SK sedang berkisar 247,0 – 404,0 gram/hr, sedangkan produksi gas metan pada kandungan SK rendah berkisar 171,4 – 366,7 gram/hr. 

Hasil Kegiatan 2
, menunjukkan bahwa pakan serat tinggi  mempunyai populasi protozoa (6,98 x 106/ml) tertinggi  (P<0,05) dibandingkan pakan serat rendah (5,24 x106/ml) dan serat sedang (4,12 x106/ml) Sedangkan populasi bakteri pakan serat sedang (8,14 x 109/ml) adalah tertinggi diikuti pakan serat tinggi (6,97 x 109/ml) dan serat rendah (6,25 x 109/ml).  Pakan serat tinggi dan serat sedang menghasilkan kandungan CH4 yang sama (22,18 ml vs 21, 84 ml), namun lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan pakan serat rendah (12,41 ml). Sebaliknya, pakan berserat rendah dan sedang menghasilkan kandungan NNH3 (151,95 mg/L dan 146,18 mg/L) yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan pakan serat tinggi (93,41 mg/L). Sedangkan pH rumen masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata, berkisar 6,70-6,83. Konsumsi bahan kering ransum masing-masing perlakuan tidak terdapat perbedaan signifikan, yakni berkisar 8,23 – 9,08 kg/hr. Namun demikian kecernaan bahan kering pada pakan serat tinggi (35,89%) adalah lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kecernaan bahan kering pada pakan serat sedang (44,28%) dan serat rendah (44,13%). Pertambahan bobot badan pada pakan serat rendah (1,19 kg/hr) adalah tertinggi (P<0,01), diikuti pakan serat sedang (0,75 kg/hr) dan pakan serat tinggi (0,17 kg/hr). Sedangkan konversi pakan tidak menunjukkan perbedaan karena menghasilkan variasi yang cukup besar, yakni berkisar 7,77 – 34,00.

Kesimpulan yang dihasilkan dari dua kegiatan ini adalah: (1) kandungan serat kasar yang tinggi dalam pakan menghasilkan emisi metan yang lebih tinggi,  diikuti dengan tingginya populasi protozoa dan kandungan ammonia nitrogen dalam rumen yang rendah; (2) kandungan serat kasar yang rendah dalam bahan pakan mampu menurunkan kandungan metan, meningkatkan bobot badan ternak serta meningkatkan efisiensi penggunaan ransum; (3) emisi gas metan pada pakan berserat berbasis sawit dan non sawit tidak menunjukkan perbedaan, namun populasi bakteri dan protozoa rumen pada pakan berbasis sawit adalah lebih rendah.

Puslitbangnak

Senin, Juni 22, 2015

Penggunaan daun dan pelepah sawit difermentasi dengan ragi tempe Trichoderma viride dan Rhizopus oligosporus untuk pakan kambing



Tanaman kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang memiliki multi guna, selain terkenal sebagai sumber minyak (Palm Oil Crude), hampir seluruh bagian tanaman sawit dapat memberi manfaat bagi industri Limbah perkebunan sawit berupa daun dan pelepah sawit dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau. kambing dan domba. sampai dengan menjadi bahan pakan ternak. Pelepah sawit yang baru di potong dalam bentuk segar dapat diberikan sebagai pakan kambing, setelah lebih dahulu di olah dengan mencacah menjadi bentuk pendek atau digiling dengan mesin menjadi bentuk abon, walaupun setelah diberikan masih kurang disukai kambing karena aromanya kurang disukai.
Salah satu metode agar limbah daun dan pelepah sawit disukai kambing adalah melalui fermentasi dengan mikroba ragi “Trichoderma viride dan Rhizopus oligosporus” . Kandungan protein daun dan pelepah sawit yang relatif rendah 5,3%) setelah terfermentasi selama 14 hari, protein meningkat menjadi 8,85%, bentuk fisik menjadi lembut dan aromanya menjadi wangi dan disukai oleh kambing.
Mikroba dapat diperbanyak melalui inokulum dengan cara memasukan dua liter biakan inokulum kedalam larutan air campuran bioreaktor, 3 kg gula pasir, 2 kg tepung beras, 2 kg ragi tempe, 1 kg urea, 1 kg KCl dan 1 kg SP-36. Biakan dalam bioreaktor dilakukan aerasi dan pengadukan selama tujuh hari. Setelah tujuh hari, larutan mikroba siap digunakan untuk fermentasi daun dan pelepah kelapa sawit .
20 ekor kambing boerka jantan sedang tumbuh dengan bobot hidup rata-rata 13 kg setelah mengkonsumsi daun dan pelepah sawit fermentasi selama 12 minggu menunjukan pengaruh yang cukup baik terhadap pertambahan bobot akhir kambing rata- rata 4,3 kg selama 12 minggu, atau dengan bobot akhir rata-rata 17,5 kilogram.
Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa daun dan pelepah sawit yang difermentasi dapat digunakan sampai tingkat 30 persen sebagai pengganti (substitusi) rumput, selain itu juga dapat meningkatkan efisiensi ekonomis dengan menurunkan biaya pakan sebesar 18 sampai 36,17% selama 12 minggu dibanding pakan daun dan pelepah segar tanpa fermentasi.

Puslitbangnak

Jumat, Juni 19, 2015

Penyerentakan berahi menggunakan hormon progresteron efektif tingkatkan reproduksi ternak domba/kambing

Kambing PE (Peternakan Etawa) merupakan ternak kambing tipe dwiguna yaitu kambing yang menghasilkan daging dan susu. Produksi susu kambing PE relatif masih rendah dengan tingkat keragaman tinggi: 1 - 3,5 liter/hari dengan rataan 1,1 liter/hari. Upaya untuk meningkatkan produksi susu kambing PE maka perlu dilakukan penelitian, salah satunya adalah dengan menyilangkan atau mengawinkan dengan kambing tipe perah lainya seperti kambing Anglo Nubian yang umumnya berasal dari daerah sub tropis agar menghasilkan produksi susu seperti yang diharapkan untuk meningkatkan status gizi masyarakat di pedesaan melalui konsumsi susu kambing.
Untuk mempercepat dalam menghasilkan anak dan memproduksi susu ternak kambing perlu diserentakan berahi dan diatur perkawinannya.  Pada prinsipnya penyerentakan berahi adalah memanipulasi proses reproduksi ternak hingga mengalami peristiwa berahi secara bersamaan.  Penghentian perlakuan progestagen secara mendadak mengakibatkan folikel tumbuh berkembang dan produksi estrogen meningkat sehingga ternak menunjukkan tanda-tanda berahi.
Pemberian progesteron secara intravaginal banyak dilakukan, sedangkan penyuntikan hormon akan lebih efisien dalam hal waktu dan tenaga.  Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerentakan berahi menggunakan hormon progresteron sangat efektif meningkatkan efisiensi reproduksi ternak domba/kambing.

Puslitbangnak

Kamis, Juni 18, 2015

Pemanfaatan produk wafer sebagai sumber pakan ternak kambing



Produk wafer ini diolah dari bahan baku menggunakan leguminosa pohon Indigofera sp sebagai sumber protein dan dicampur dengan pelepah sawit sebagai sumber energi dan serat, serta molases sebagai media energi fermentasi. Produk pakan wafer yang disediakan sesuai dengan formulasi pakan yang sudah ditentukan. Produk pakan wafer ini diberikan kepada ternak kambing boerka jantan sedang tumbuh sebanyak 20 ekor selama 12 minggu. Hasilnya menunjukan bahwa semakin tinggi level Indigofera pada susunan pakan maka produk wafernya akan semakin meningkat kandungan proteinnya, karena Indigofera merupakan bahan baku yang memiliki kandungan protein tinggi (27%), sebaliknya semakin meningkat level pelepah sawit pada susunan pakan maka produk wafer akan semakin rendah proteinnya tetapi semakin tinggi kandungan seratnya, karena pelepah sawit diketahui mengandung serat kasar yang tinggi.
Konsumsi pakan semakin menurun dengan semakin meningkatnya pelepah sawit yang diberikan kepada kambing. Konsumsi pelepah dalam wafer tertinggi sebesar 362,30 g/ekor/hari, atau dengan kandungan serat pelepah sawit pada sebesar 45%, pada tingkat ini menunjukkan kebutuhan serat sudah mencapai ambang batas. Proses pencernaan serat pelepah sawit membutukan waktu yang cukup lama untuk dicerna oleh microorganisme dalam pencernaan ternak kambing, sehingga penggunaan serat pelapah diatas 45% akan menurunkan kecernaan dan konsumsi. Disarankan untuk penggunaan pelepah sawit dalam jumlah yang cukup tinggi sebelum diberikan kepada ternak diperlukan proses fermentasi, agar komponen serat dapat lebih mudah dicernakan oleh ternak. Sebaliknya penggunaan indigofera dalam bentuk halus (setelah digiling) dalam wafer menunjukkan peningkatan konsumsi yang lebih baik dibanding bila diberikan dalam bentuk normal tanpa pengolahan.

Puslitbangnak

Rabu, Juni 17, 2015

Rusa Timor sebagai Plasma Nutfah Ternak yang Adaptip Iklim Tropis


Klasifikasi Ilmiah. Kerajaan: Animalia. Filum: Vertebrata. Sub filum : Chordata. Kelas: Mammalia. Ordo: Artiodactyla. Famili: Cervidae. Genus: Cervus. Spesies: Cervus timorensis.
Rusa timor merupakan salah satu rusa asli Indonesia selain rusa bawean, sambar, dan menjangan. Rusa timor yang mempunyai nama latin Cervus timorensis diperkirakan asli berasal dari Jawa dan Bali, kini ditetapkan menjadi fauna identitas provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).  Rusa timor sering juga disebut sebagai rusa jawa. Dalam bahasa Inggris, rusa timor mempunyai beberapa sebutan seperti Javan Rusa, Javan Deer, Rusa, Rusa Deer, dan Timor Deer. Sedangkan dalam bahasa latin (ilmiah) binatang ini disebut sebagai Cervus timorensis yang mempunyai beberapa nama sinonim seperti Cervus celebensis, Cervus hippelaphus, Cervus lepidus, Cervus moluccensis, Cervus peronii, Cervus russa, Cervus tavistocki, Cervus timorensis, dan Cervus tunjuc.
Ciri-ciri Fisik dan Perilaku. Rusa timor (Cervus timorensis) yang ditetapkan menjadi fauna identitas NTB, mempunyai bulu berwarna coklat kemerah-merahan hingga abu-abu kecoklatan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna putih.
Rusa timor dewasa mempunyai panjang badan berkisar antara 195-210 cm dengan tinggi badan mencapai antara 91-110 cm. Rusa timor (Cervus timorensis) mempunyai berat badan antara 103-115 kg walaupun rusa timor yang berada dipenangkaran mampu memiliki bobot sekitar 140 kg. Ukuran rusa timor ini meskipun kalah besar dari sambar (Cervus unicolor) namun dibandingkan dengan rusa jenis lainnya seperti rusa bawean, dan menjangan, ukuran tubuh rusa timor lebih besar.
Rusa jantan memiliki tanduk (ranggah) yang bercabang. Tanduk akan tumbuh pertama kali pada anak jantan saat umur 8 bulan. Setelah dewasa, tanduk menjadi sempurna yang ditandai dengan terdapatnya 3 ujung runcing.
Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan hewan yang dapat aktif di siang hari (diurnal) maupun di malam hari (nokturnal), tergantung kondisi habitatnya.  Rusa timor sebagaimana rusa lainnya termasuk hewan pemamah biak yang menyukai daun-daunan dan berbagai macam buah-buahan Rusa memakan berbagai bagian tumbuhan mulai dari pucuk, daun muda, daun tua, maupun batang muda.
Umumnya rusa timor bersifat poligamus yaitu satu penjantan akan mengawini beberapa betina. Rusa betina mempunyai anak setiap tahun dengan sekali musim rata-rata satu ekor anak.
Subspesies Rusa Timor. Whitehead (Schroder dalam Nugroho, 1992; Semiadi, 2002) membagi jenis rusa timor (Cervus timorensis) menjadi 8 subspesies (anak jenis), yaitu:
  1. Cervus timorensis russa biasa ditemukan di Pulau Jawa
  2. Cervus timorensis florensis biasa ditemukan Pulau Lombok dan Pulau Flores
  3. Cervus timorensis timorensis biasa ditemukan P. Timor, P. Rate, P. Semau, P. Kambing, P. Alor, dan P. Pantai
  4. Cervus timorensis djonga biasa ditemukan P. Muna dan P. Buton
  5. Cervus timorensis molucensis biasa ditemukan Kep. Maluku, P. Halmahera, P. Banda, dan P. Seram
  6. Cervus timorensis macassaricus biasa ditemukan P. Sulawesi
  7. Cervus timorensis renschi
  8. Cervus timorensis laronesietes
Habitat dan Persebaran. Rusa timor diperkirakan berasal dari pulau Jawa dan Bali yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan telah diintroduksi juga ke berbagai negara seperti Australia, Mauritius, Kaledonia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Habitat rusa timor adalah padang rumput pada daerah beriklim tropis dan subtropis, namun binatang ini mampu beradaptasi di habitat yang berupa hutan, pegunungan, dan rawa-rawa. Rusa yang menjadi fauna identitas Nusa Tenggara Barat ini dapat hidup hingga ketinggian 900 meter dpl.

Populasi dan Konservasi
. Populasi rusa timor secara keseluruhan diperkirakan sekitar 10.000 hingga 20.000 ekor dewasa. Berdasarkan jumlah populasi dan persebarannya, rusa timor dimasukkan dalam status konservasi “vulnerable” (Rentan) oleh IUCN Red List.  Populasi rusa timor terbesar terdapat di TN. Wasur, Papua dengan populasi sekitar 8.000 ekor (1992). Populasi di Jawa justru megalami pengurangan yang sangat besar. Seperti di TN. Baluran sekitar 1.000 ekor (2008).
Ancaman utama terhadap rusa timor berasal dari perburuan yang dilakukan oleh manusia untuk mengambil dagingnya. Penurunan populasi juga diakibatkan oleh berkurangnya lahan dan padang penggembalaan (padang rumput) di Taman Nasional yang menjadi habitat rusa timor. Hilangnya padang rumput ini ada yang diakibatkan oleh konversi menjadi lahan pertanian dan pemikiman juga oleh kesalahan pengelolaan seperti penanaman pohon yang yang kemudian merubah padang rumput menjadi hutan semak seperti yang pernah terjadi di TN. Baluran.

Puslitbangnak

Integrasi hijauan legume dengan tanaman kelapa sawit dan jeruk mendukung suplemen protein bagi ternak kambing

Dalam sistem ini komponen tanaman legume rambat pada gawangan tanaman sawit dan jeruk merupakan subsistem pendukung, sedangkan tanaman kelapa sawit dan jeruk merupakan subsistem utama. Hal ini disebabkan karena tanaman pakan ternak merupakan subsistem yang harus beradaptasi dengan subsistem tanaman kelapa sawit dan jeruk. Pengadaan hijauan legume dilakukan untuk memanfaatakan lahan di areal perkebunan kelapa sawit, selain berguna sebagai pakan ternak juga sebagai covercrop yang dapat melindungi tanah dari kekeringan juga dapat menyuburkan tanah melalui peningkatan ketersediaan nitrogen dalam tanah. Empat jenis legume rambat ditanam digawangan kebun sawit pada umur pemanenan 45 hari diperoleh produksi hijauan segar yang tertinggi yaitu 1,24 kg/m2  terdapat pada legume rambat Clitoria ternatea, ketiga jenis legum lainnya memiliki produksi rata-rata 0,69 kg/m2 sedang di sela tanaman jeruk produksi segar hijauan legume
yang tertinggi yaitu 1,36 kg/m2 dihasilkan oleh Stylosanthes gueanensis . Sedang ketiga jenis legume rambat lainnya menghasilkan produksi rata-rata 0,59 kg/m2 atau 590 ton/hektar /tahun pada sela tanaman jeruk.
Dari segi produksi buah sawit yang diperoleh menunjukkan bahwa integrasi legume Chamaecrista rotundifolia adalah yang terbaik dalam produksi sawit yang tertinggi yaitu 1.467 kg per hektar.
Sedang untuk jenis legume rambat Arachis glabrata dikembangkan di sela sela tanaman sawit dan jeruk menghasilkan produksi hijauan dan produksi buah sawit yang terendah, dibanding ketiga jenis legume lainnya.
Tingkat kesuburan tanah ditinjau dari sumbangan nitrogen yang dihasilkan oleh ke empat jenis legume rambat yang di integrasikan, menunjukan hasil yang rendah yaitu sekitar 0,11 s/d 0,16 atau meningkat 0,01 s/d 0,06 persen nitrogen dalam tanah tanaman sawit.
Untuk tanaman jeruk peningkatan nitogen dalam tanah sedikit lebih baik yaitu berkisar 0,02 s/d 0,08 persen. Jenis legum yang terbaik sebagai penyumbang nitrogen dalam tanah pada sela sawit dan jeruk yaitu Stylosanthes gueanensis (0,06%) dan Clitoria ternatea (0,08%).

Puslitbangnak

Selasa, Juni 16, 2015

Formula Pakan Komplit Berbasis Perasan Buah Sawit dan Dua Jenis Cendawan sebagai Pengganti Rumput

Pembuatan pakan komplit merupakan salah satu terobosan teknologi yang perlu dikembangkan. Hal ini dikarenakan dengan pakan komplit tidak diperlukan pakan tambahan lainnya, sehingga lebih praktis. Penggunaan pakan komplit memudahkan pemenuhan kebutuhan nutrisi  dan menyumbang kebutuhan serat bagi stabilisasi ekosistem rumen pada ternak kambing.

Selain itu, pakan komplit juga lebih menjamin meratanya asupan harian pakan, sehingga fluktuasi kondisi ekosistem di dalam rumen dapat diminimalisir. Kondisi ini lebih sulit dicapai dengan pemberian pakan secara konvensional dimana pakan sumber serat (roughage) dan pakan konsentrat diberikan secara terpisah. Dalam perkembangannya, teknik pakan komplit juga semakin banyak digunakan pada peternakan penggemukan kambing potong (feedlot) untuk memaksimalkan pertambahan bobot badan ternak menjelang dipasarkan.

Pemanfaatan limbah Serat Perasan Buah Sawit (SPBS) perlu dieksplorasi sebagai komponen campuran pakan untuk ternak kambing. Nilai nutrisinya yang relatif sebanding dengan rumput alam memungkinkan limbah ini dijadikan bahan dalam pembuatan pakan komplit. Namun, pemanfaatan limbah ini akan dibatasi oleh kandungan serat terutama lignin yang relatif tinggi. Pada umumnya bahan pakan yang mengandung serat kasar yang tinggi memiliki nilai kecernaan yang rendah. Kemajuan bioteknologi saat ini memungkinkan optimasi pemanfaatan limbah SPBS sebagai sumber bahan pakan, yaitu melalui fermentasi.

Fermentasi dengan menggunakan beberapa jenis cendawan memungkinkan terjadinya perombakan bahan yang sulit dicerna oleh ternak menjadi bahan yang mudah dicerna, sehingga nilai manfaatnya meningkat. Cendawan yang selama ini dikenal merugikan karena menimbulkan penyakit aspergilosis dan aflatoksikosis, banyak pula yang menguntungkan dan dipakai untuk kepentingan manusia, misalnya kapang sebagai kontrol biologi cacing dan ragi khamir sebagai probiotik dan imunostimulan. Diantara jenis kapang dan khamir, terdapat Saccharomyces cerevisiae dan Marasmius sp. Kedua jenis cendawan ini banyak dikaji secara terpisah, sehingga timbul pemikiran untuk mengkombinasikan kedua jenis cendawan ini (SARAS = Saccharomyces cerevisiae + Marasmius sp.) dalam satu produk pakan komplit yang berbasis bahan lokal, yaitu SPBS.

Suatu penelitian telah dilakukan bertujuan untuk mempelajari penggunaan SPBS sebagai pengganti rumput dalam pakan komplit yang diperkaya dua jenis cendawan pada kambing. Tahapan penelitian meliputi:
  • Persiapan dan perbanyakan agen hayati;
  • Karakterisasi dan perbanyakan Marasmius sp. dan S. Cerevisiae;
  • Fermentasi serat perasan buah sawit dengan Marasmuis sp.; dan 4) formulasi serta pengemasan pakan komplit berbentuk pelet.
  • Pakan komplit disusun menjadi lima perlakuan berdasarkan perbandingan penggunaan unsur serat perasan buah sawit terfermentasi (SPBS-F) dengan unsur konsentrat 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, dan 70:30. Parameter yang diamati meliputi karakteristik pertumbuhan kedua jenis cendawan pada media yang sama, nilai nutrisi produk pakan komplit, performans kambing Boerka yang diberi pakan komplit, serta income over feed cost.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat perasan buah sawit (SPBS) yang difermentasi Marasmius sp. menghasilkan kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan sebelum difermentasi. Marasmius sp. dan S. Cerevisiae  mempunyai karakteristik sinergis bila ditumbuhkan secara bersamaan pada media yang sama. Terdapat kecenderungan nilai pertambahan bobot badan, tingkat konsumsi dan konversi pakan, serta nilai kecernaan yang menurun sejalan dengan meningkatnya penggunaan serat perasan buah sawit terfermentasi. Namun, penggunaan unsur konsentrat yang tinggi pada pakan komplit berbentuk pelet menjadi tidak ekonomis.
Perlakuan dengan penggunaan 50% serat perasan buah sawit terfermentasi dan 50% konsentrat pada pakan komplit  menjadi taraf perlakuan yang direkomendasikan.

Puslitbangnak

Pengelolaan dan Pemanfaatan Bibit Sapi Potong Bebas Penyakit Reproduksi


Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi potong lokal yang tersebar luas hamper keseluruh sentra sapi potong di Indonesia, populasi terbesarnya berada di pulau Jawa terutama di Jawa Timur.

Permasalahan utama dan menjadi isu dalam pengembangan sapi PO adalah penurunan populasi dan produktivitas sapi PO akibat adanya pemotongan sapi betina produktif, persilangan dengan Bos taurus yang telah lama berlangsung dan terbatasnya pejantan yang berkualitas. Pembibitan sapi PO di beberapa wilayah menggunakan pejantan alam yang kualitasnya rendah karena belum ada pilihan untuk menggunakan pemacek yang baik. Untuk meningkatkan populasi dan produktivitas sapi PO, Lolitsapi telah melakukan perbanyakan bibit sumber sapi PO terseleksi melalui Unit Pengelolaan Bibit Unggul (UPBU) sapi potong. Populasi sapi PO terseleksi sampai dengan akhir tahun 2014 sebanyak 245 ekor bibit sumber sapi PO pada berbagai kondisi fisiologis yang terdiri atas sapi UPBU sebanyak 165 ekor dan sebanyak 80 ekor hasil dari kegiatan breeding tahun 2013 yang dihibahkan pada kegiatan UPBU.
Dalam upaya peningkatan kualitas genetik sapi PO yang ada di lapangan, Loka Penelitian Sapi Potong melakukan penyebaran sapi PO terseleksi ke beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Dalam upaya evaluasi pemanfaatan sapi PO terseleksi tersebut Loka Penelitan Sapi Potong melakukan monitoring evaluasi pemanfaatan pejantan di Probolinggo dan atau Pasuruan (Provinsi Jawa Timur); Kabupaten Semarang (Provinsi Jawa Tengah); Kabupaten Sukabumi (Provinsi Jawa Barat); Kabupaten Bantul dan Sleman (Provinsi D.I. Yogyakarta); dan Kabupaten Panajam (Kalimantan Timur). Penyebaran pejantan sapi PO hasil seleksi Loka Penelitian Sapi Potong tahun 2014 (16 ekor), masih di bawah target yang ditetapkan yaitu 20 ekor.
Berdasarkan hasil monitoring pemanfaatan pejantan sapi PO hasil seleksi Lolitsapi telah dimanfaatkan sebagai pejantan pemacek (mengawini sapi betina) pada kelompok peternakan rakyat. Pemanfaatan pejantan sapi PO di Kab. Sleman (DI Yogyakarta) sebesar 55 ekor (12 bulan) dengan bobot lahir sebesar 25-30 kg, Kab Blora Jawa Tengah sebesar 23 ekor. Kelahiran pedet pada UPTD Pasuruan (tahun 2014) sebesar 32 ekor dengan bobot lahir 22-25 kg.

Puslitbangnak

Senin, Juni 15, 2015

Teknologi Unggulan Ayam Sentul F3

Bobot hidup pada umur 10 minggu adalah umur optimum yang diharapkan tidak merubah tekstur dan rasa daging ayam lokal.
Seleksi berdasarkan kriteria telah dilakukan selama tiga generasi. Ciri khas tampilan selain postur tubuh dan warna bulu, adalah bentuk jengger. Ada dua bentuk jengger yang muncul dalam populasi adalah bentuk jengger pea (kacang) dan single comb (kipas terbuka).Pada generasi ke tiga ini bentuk jengger didominasi dengan bentuk kacang (87,55% untuk jantan dan 91,79% pada yang betina).
Sesuai dengan tujuan seleksi, kinerja pertumbuhan sampai dengan umur 10 minggu yang meliput bobot hidup, konsumsi ransum, dan efisiensi penggunaan ransum (FCR= feed conversion ratio).
Bobot hidup pada umur 10 minggu adalah umur optimum yang diharapkan tidak mengubah tekstur dan rasa daging ayam lokal yang sementara disukai konsumen daging ayam lokal dengan bobot tubuh antara 700–1000 g/ekor sebagai bobot potong yang disukai konsumen khusus sebagai bobot potong yang cocok untuk potongan karkas sajian meja.
Pemeliharaan ayam Sentul F3 tersebut dilakukan secara intensif penuh dalam kandang koloni kawat dan di kandang koloni beralas lantai dengan litter sekam. Kualitas ransum yang diberikan sejak umur 0-10 minggu adalah 17% protein kasar dengan 2800 kkal energi termetabolis/kg.

Puslitbangnak

Minggu, Juni 14, 2015

Deteksi Brucella abortus pada Semen dengan Molekular PCR



Penyimpanan semen beku mempunyai keuntungan untuk penyimpanan semen dalam waktu lama namun memiliki kelemahan dapat menjadi sarana penyebaran beberapa mikroba patogen.

Salah satu agen yang dapat ditularkan melalui semen adalah Brucella abortus yang dapat mengakibatkan orchitis, visiculitis dan epididymitis pada hewan jantan. Brucellosis pada sapi umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas sehingga dapat bertindak sebagai hewan carrier.
Infeksi Brucella melalui inseminasi buatan (IB) dengan semen yang terkontaminasi lebih sering terjadi dibandingkan melalui perkawinan alam. Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik PCR untuk deteksi keberadaan kuman Brucella pada sampel semen. Pengembangan teknik PCR ini digunakan primer dari gen 16sRNA dan OMP Brucella. Sampel semen sapi yang diuji adalah semen segar dan semen beku.
Hasil elektroforesis gel uji PCR dengan menggunakan berbagai pasangan primer ditampilkan pada gambar di bawah ini. Gambar pertama menunjukkan hasil uji sampel semen segar yang di spike B. abortus dengan primer Bruc (A) untuk genus Brucella sp dan Bruc6 (B) untuk B. abortus.
Pada gambar kedua menunjukkan hasil uji PCR sampel semen segar yang di spike B. abortus dengan primer OMP (A) dan primer 16sRNA (B). Gambar ketiga menunjukkan hasil uji PCR sampel semen beku yang spike B. abortus dengan primer OMP (A) dan primer 16sRNA (B).
Teknik PCR yang telah dioptimasi selanjutnya digunakan untuk deteksi Brucella pada sampel semen segar dan semen beku yang diambil dari lapang. Hasil uji PCR terhadap 29 sampel lapang telah terdeteksi 5 sampel yang positif, sedangkan dari hasil kultur semen sapi tidak terdeteksi adanya kuman Brucella. Hal ini dapat terjadi karena walaupun biakan kuman merupakan diagnosis standar baku untuk Brucellosis namun ada beberapa kelemahan yaitu sensitifitasnya.
rendah sehingga sering terjadi negative palsu dan memerlukan waktu lama serta keahlian seseorang dalam mengidentifikasi. Sensitifitas diagnosis melalui biakan kuman sangat dipengaruhi oleh konsentrasi jumlah kuman yang shedding dalam susu maupun semen sapi karena B.abortus merupakan bakteri fastidious yang sulit tumbuh dan lambat pertumbuhannya.
Dari hasil yang telah diperoleh tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik PCR dapat mendeteksi adanya Brucella pada semen segar dan semen beku sapi dengan limit deteksi 1pg/ul.

Puslitbangnak

Sabtu, Juni 13, 2015

Evaluasi Performa Beberapa Varietas Unggul Sorghum spp untuk Pakan Ternak


Sorghum spp merupakan salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai sumber hijauan bagi ternak ruminansia, bijinya dapat digunakan untuk bahan pangan maupun pakan dan batangnya dapat diproses untuk bioenergi.
Saat ini telah banyak tersedia varietas sorghum yang telah diperbaiki produksinya untuk dibudidayakan baik
untuk serealia, hijauan pakan maupun untuk tujuan ganda yaitu pangan dan pakan. Biji sorghum dapat dijadikan tepung untuk menggantikan terigu dan dapat diolah menjadi bermacam makanan, seperti mi, roti, cake, kue kering serta makanan lainnya.
Pemuliaan varietas sorghum telah banyak dilakukan baik secara konvensional maupun dengan teknik irradiasi. Varietas sorghum untuk hijauan pakan ternak, dapat merupakan hijauan potong maupun diawetkan sebagai hay maupun silase. Sorghum kebanyakan mempunyai protein dan produksi hijauan yang mirip dengan tanaman jagung.
Penelitian ini mengevaluasi produksi dan kualitas biomasa hijauan beberapa varietas/galur Sorghum bicolor untuk hijauan pakan ternak dengan menggunakan varietas/galur dari berbagai sumber (Balitserialia, BATAN, Pacific seed yang bekerjasama dengan Balai Penyuluhan Pertanian/BPP), Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan lahan kering beriklim kering.
Sembilan varietas/galur Sorghum bicolor biji ditanam langsung di lapangan, tiap lubang ditanam 3 biji dan setelah tumbuh dipertahankan 1 tanaman. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos komersial, dengan dosis 2,5 ton/ha dan pupuk kimia, sebagai pupuk dasar adalah SP36 sebanyak 100 kg/ha, KCl 90kg/ha dan urea 150kg/ha. Hasil pengamatan pertumbuhan, yaitu dengan pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada 65 hari setelah tanam dan umur 45 hari setelah panen. Pertumbuhan awal sorghum dengan berbagai varietas/galur belum menunjukkan perbedaan. Namun pada umur 45 hari ratton 1, varietas super 2, G5 dan Super 1 menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dibanding yang lain.
Umur tanaman 65 hari, ada 5 varietas/galur yang belum berbunga yaitu Super 2, G5, Kawali, PAC 593 dan PAC 537. Sedang yang paling banyak sudah berbunga adalah varietas Super1.
Pada umur 110 hari, tanaman di panen sebelum berbiji. Produksi bagian atas tanaman, yang terdiri dari daun dan batang bervariasi diantara varietas atau galur yang diuji dan antar panen. Produksi paling rendah pada periode ratton 2 dan paling tinggi pada ratoon 1. Produksi panen awal berkisar 7,09 –16,36 ton/ha. Produksi bagian atas tertinggi dicapai oleh varietas PAC 537, yaitu 16,36 ton/ha, disusul varietas.
Super 1 yaitu 14,58 ton/ha dan terendah galur G2 yaitu 7,09 ton/ha. Pada Ratoon 1, semua tanaman sudah mulai berbunga pada 45 hari masa ratoon 1. Produksi bagian atas tanaman varietas/galur yang diuji meningkat, yaitu berkisar antara 12,42 - 18,42 ton/ha. PAC 537 menghasilkan produksi bagian atas tertinggi yaitu 18,42 ton. Tanaman sorghum dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik dilahan kering beriklim kering, dengan curah hujan rendah dan musim kemarau panjang seperti Gunung Kidul Yogyakarta, dengan curah hujan 1324 mm/tahun dengan hari hujan 59 hari/tahun. Produksi hijauan dalam 3 kali panen (1 tahun), bervariasi antara varietas/galur dan antar panen. Produksi hijauan varietas/galur PAC 537 konsisten paling tinggi baik pada panen awal maupun ratoon 1 dan 2, diikuti Super 1.
Kandungan protein, NDF, ADF serta mineral Ca, P bervariasi antara panen. Kandungan protein sampai ratton 1 berkisar 6,37% - 11,59 % sedang NDF nilainya berkisar 61,68 –68,52 % dan ADF 36,39-44,43% mineral Ca 0,51%-0,99% dan P 0,20-0,37%. Kecernaan bahan kering (KCBK) maupun kecernaan bahan organik (KCBO) berkisar 54,55 –78,31% dan KCBO 51,54-76,35%.
Dari parameter produksi dan kualitas hijauan, maka varietas Super 1 dapat dibudidayakan sebagai sumber hijauan di daerah kering beriklim kering. Di samping itu varietas Super 1 varietas bukan hasil hibridisasi sehingga kemungkinan terjadi segregasi bila ditanam dengan bijinya, kecil. Keragaman produksi maupun kualitas hijauan dari beberapa varietas/galur Sorghum bicolor, merupakan peluang melakukan pemuliaan untuk mendapatkan varietas sorghum yang mempunyai produksi dan kualitas tinggi sebagai sumber hijauan pakan ternak.

Puslitbangnak

Jumat, Juni 12, 2015

Penguatan FELISAVET untuk Deteksi Penyakit Brucellosis pada Sapi


Brucellosis adalah penyakit zoonosis yang sering menyerang pada sapi, disebabkan oleh bakteri Brucella abortus dan merupakan spesies yang pathogen. Brucellosis pada sapi mudah menyebar secara cepat pada kelompok ternak yang tidak divaksinasi dan 80% sapi pada kebuntingan akhir dapat terjadi abortus.
Kejadian Brucellosis pada sapi telah menyebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Pulau Bali dan Lombok yang baru dinyatakan bebas Brucellosis pada tahun 2002 dengan angka prevalensi bervariasi dari 1% hingga 40%. Spesies Brucella yang menginfeksi sapi-sapi di Indonesia adalah strain B. abortus biotipe 1 yang merupakan isolat lokal paling patogen sehingga mampu menimbulkan keguguran dan infeksi yang meluas pada organ dan jaringan tubuh sapi.
Program pengendalian dan pemberantasan Brucellosis pada sapi telah dilakukan oleh pemerintah melalui program vaksinasi dan potong bersyarat (test and slaughter) namun penyebaran penyakit ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Meningkatnya penyebaran Brucellosis pada sapi ini dapat dikarenakan adanya mutasi ternak yang kurang dapat dipantau oleh petugas peternakan, biaya kompensasi pengganti sapi reaktor positif sangat mahal dan kurangnya kesadaran dan pengetahuan peternak.
Oleh karena itu, Brucellosis menjadi salah satu prioritas nasional untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasannya, karena dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkannya sangat besar akibat tingginya angka keguguran, lahir mati, lahir lemah, infertilitas dan sterilitas pada sapi. Mengingat pentingnya penyakit tersebut deteksi cepat dalam rangka skreening penyakit reproduksi khususnya pada sapi dan kerbau sangat perlu dilakukan sejak dini.
Hal demikian dapat terwujud apabila terdapat perangkat diagnostik uji cepat yang akurat dan mampu mendeteksi beberapa penyakit reproduksi sekaligus sehingga terjadi efisiensi waktu. Salah satu perangkat diagnostik yang diharapkan mampu menjalankan tujuan tersebut adalah teknologi diagnosa Field ELISA (FELISAVET) yang telah dikembangkan oleh BB Litvet. FELISAVET merupakan teknik uji cepat yang berbasis ELISA yang dimodifikasi agar bisa diterapkan di lapangan. Keunggulan teknologi ini adalah dapat mendeteksi beberapa jenis penyakit dalam satu sampel, mudah diaplikasikan di lapangan dan hasilnya dapat segera diketahui yaitu hanya dalam waktu 25 menit.
Mengingat keunggulan teknologi tersebut, FELISAVET dapat digunakan untuk mendeteksi secara cepat penyakit Brucellosis di lapangan yaitu untuk skrining tes agar bisa dilakukan tindakan-tindakan penanganan lebih lanjut secara lebih cepat. Namun demikian inovasi teknologi diagnosa FELISAVET masih perlu dilakukan validasi terlebih dahulu. Validasi diperlukan agar aplikasi di lapang dapat lebih terjamin akurasinya. Validasi FELISAVET Brucella telah dilakukan dengan melakukan Validasi Uji dengan menggunakan serum kontrol positif dan negatif untuk uji Spesifisitas dan Sensitivitas, serta Validasi Komparatif dengan menggunakan kit komersial sebagai pembanding untuk Agreement Assay. Validasi kit FELISA untuk diagnosis brucelosis telah dapat dilaksanakan dan hasilnya sesuai harapan dengan tingkat akurasi uji 97,92-98,75%. Hasil uji FELISA juga memiliki kesesuaian uji yang sangat baik (k = 0,96-0,97) dalam diagnosis brucelosis dibandingkan RBT-CFT-ELISA

Puslitbagnak

Kamis, Juni 11, 2015

Prototipe Vaksin ND Genotipe VII Efektif dalam Mengendalikan Penyakit ND Generasi Baru


New Castle Disease (ND) merupakan penyakit yang sangat kontangius dan termasuk dalam satu dari penyakit penting pada unggas di dunia. Infeksi berlangsung secara cepat dan bisa menyebabkan kematian secara mendadak dengan mortalitas yang tinggi. Di Indonesia, penyakit ND pada tahun terakhir ini menunjukkan gejala yang sedikit berbeda dengan gejala penyakit ini sebelumnya. Gejalanya biasanya hanya menurunkan produksi telur, namun penurunannya sampai drastis dan tidak dapat mencapai puncak produksi. Seed vaksin yang digunakan biasanya adalah Lasota atau B1 (Lentogenik) terkadang kumarov (Mesogenik) dan beberapa dari isolat lokal Indonesia yang termasuk virus ND ganas (Velogenik). Meskipun vaksinasi diaplikasikan secara intensif, penyakit ND masih menyebabkan masalah bagi peternak. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan prototipe vaksin ND genotipe VII yang diperoleh pada penelitian tahun sebelumnya yaitu Chicken/Indonesia/GTT/11 sehingga dapat digunakan untuk menyediakan seed virus ND genotype VII yang sangat dibutuhkan oleh peternak.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menformulasi vaksin dan melakukan vaksinasi pada ayam umur 3 minggu pada kelompok ayam yang divaksin dengan vaksin genotipe VII (Chicken/Indonesia/GTT/11) yang dibandingkan dengan vaksin genotipe VII komersial dan vaksin ND bukan GVII, dan kemudian ditantang dengan virus tantang Chicken/Indonesia/ GTT/11. Pengamatan dilakukan dengan mengukur titer antibody sebelum dan setelah vaksinasi, serta memeriksa adanya sheeding virus pasca tantang. Selain itu juga dilakukan identifikasi virus ND yang bersirkulasi di lapang dengan menggunakan metode RTPCR.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sirkulasi virus ND masih dapat dideteksi pada peternakan ayam yang melakukan vaksinasi ND. Vaksin ND generasi baru BB Litvet yang mengandung seed vaksin ND G7 chicken/Indonesia GTT/11 mempunyai respons pasca vaksinasi yang sangat baik, dengan rataan titer 7,3 log2 dan mampu memberikan perlindungan 100% pada ayam yang divaksinasi dari penyakit klinis, kematian, serta sheeding terhadap virus tantang.

Puslitbangnak

Rabu, Juni 10, 2015

Tepung Daun Murbei sebagai Pakan Suplemen untuk Kambing


Tanaman murbei (Morus spp.) merupakan tanaman leguminosa yang beradaptasi baik pada berbagai kondisi iklim dan egroekosistem yang beragam. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dan sub tropis dan telah lama digunakan dalam pertanian sericulture. Penggunaan tanaman murbei sebagai pakan telah diteliti pada beberapa spesies ternak ruminansia, seperti sapi (perah dan potong), kambing dan domba di berbagai negara. Di Indonesia, diperkirakan terdapat paling tidak tujuh spesies murbei, namun potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak belum diteliti secara lebih mendalam dan penggunaan di lapangan oleh peternak belum dilakukan. Penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi potensi nutrisi dan teknologi pemanfaatan beberapa spesies murbei sebagai pakan kambing.
Dari empat spesies tanaman murbei yang telah diteliti yaitu Morus nigra, Morus kanva, Morus multicaulis dan Morus chatayana disimpulkan bahwa keempat spesies murbei ini dapat digunakan sebagai pakan suplemen terutama sumber protein (kandungan protein 16-25%). Jika diberikan dalam bentuk segara maka spesies M. multicaulis memiliki karakter palatabilitas paling tinggi dibanding ketiga spesies lainnya. Hal ini menunjukan potensi konsumsi yang lebih tinggi dibanding ketiga spesies lainnya.
Namun, keempat spesies murbei tersebut relatif mudah dicerna oleh kambing yaitu dengan tingkat kecernaan bahan kering antara 60-65%. Dengan demikian tanaman murbei dapat diberikan dalam bentuk segar sebagai pakan suplemen (pakan tambahan) untuk melengkapi kandungan nutrisi yang terdapat pada pakan dasar. Oleh karena produksi daun tanaman murbei menurun drastis selama musim kemarau, maka perlu dilakukan pengolahan daun terutama selama musim basah saat produksi lebih tinggi. Dengan teknologi pengolahan, maka produksi hijauan yang melimpah pada musim hujan dapat digunakan selama musim kering. Teknologi ini akan lebih menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun.
Proses pengolahan daun murbei segar menjadi tepung daun adalah teknologi sederhana yang mudah diterapkan oleh peternak. Pengolahan hanya membutuhkan proses pengeringan (penjemuran) dan penggilingan (penepungan). Daun murbei yang telah dikeringkan (dianginkan) selama 2-3 hari kemudian digiling menjadi tepung dengan partikel kasar, lalu disimpan dalam tempat yang kering untuk digunakan pada waktu yang diperlukan. Penggunaan tepung murbei dapat dilakukan baik dengan mencampur secara langsung dengan pakan dasar atau diberikan pada tempat terpisah dengan pakan dasar. Tingkat penggunaan murbei tergantung kepada ketersediaan bahan. Oleh karena itu, tepung ini dapat diberikan dalam jumlah tidak terbatas sesuai kemampuan ternak mengkonsumsi (ad libitum). Apabila ketersediaan bahan terbatas, penggunaannya berkisar antara 0,5- 1,0% berat badan.

Puslitbangnak

Selasa, Juni 09, 2015

Pemanfaatan Pucuk Tebu untuk Pakan Ternak Domba

Tebu atau sugarcane merupakan bagian limbah terbesar dari industri/perkebunan tebu  yaitu berupa sisa tanaman setelah bagain batang di panen untuk diproses menjadi gula. Dari unsur ketersediaan, potensinya sangat baik untuk pakan.

Ketersediaannya musiman sehingga mengharuskan adanya proses pengawetan agar dapat digunakan sepanjang tahun. Penggunaan pucuk tebu untuk sapi sudah banyak dilakukan, namun penggunaannya untuk domba atau kambing masih terbatas.

Penelitian dilakukan dengan tujuan membuat  ransum domba berbahan pucuk tebu dan melihat dampaknya terhadap pertumbuhan dan kualitas karkas domba. Dua puluh empat ekor domba dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan pakan, yaitu:
  • PT (pucuk tebu+konsentrat)
  • PT+PA (pucuk tebu+pakan aditif)
  • PTS (silase pucuk tebu) dan
  • PTS+PA (silase pucuk tebu+pakan aditif).

Pakan aditif yang diberikan adalah campuran mineral, vitamin dan mikroba dari bioplus. Pengamatan selama 14 minggu dilakukan terhadap konsumsi dan kecernaan pakan, pertambahan bobot badan ternak, FCR (feed conversion ratio), kualitas karkas dan uji kecernaan secara in vitro.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian pakan aditif dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan pada kelompok PTS+PA, namun dampak pakan aditif tidak terlihat pada kelompok PT+PA. Pakan aditif memberikan respon lebih baik pada kelompok yang diberi silase pucuk tebu 16,8%, dibandingkan dengan yang diberi pucuk tebu tanpa silase 4%.

Disimpulkan bahwa pakan aditif tidak berindikasi menaikkan konsumsi pakan, ensilage (produk bioproses) belum mempengaruhi konsumsi, kecernaan dan FCR. Direkomendasikan untuk menggunakan pucuk tebu sebagai ransum peggemukan domba di areal perkebunan tebu.

Puslitbangnak

Senin, Juni 08, 2015

Teknologi Budidaya Rumput Gajah Kerdil di Provinsi Sumatera Utara

Rumput gajah kerdil (Pennisetum purpureum cv Mott) merupakan salah satu tanaman yang dikenal cocok untuk pakan ternak ruminansia besar maupun kecil. Hal ini dikarenakan rasio daun atau batang yang tinggi, nilai nutrisi yang sedang, tahan terhadap kekeringan, dan cocok untuk penggembalaan. Berdasarkan beberapa keunggulan tersebut, pengembangan budidaya rumput gajah kerdil diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk menjamin ketersediaan hijauan.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan agronomis melalui penanaman rumput gajah kerdil di dua agroekosistem berbeda (dataran rendah beriklim basah yaitu Sei Putih dan dataran tinggi beriklim sedang yaitu Siborong-borong). Luas masing-masing lokasi penanaman adalah 1.500 m2. Terdapat 30 petak percobaan dengan luasan 100 m2 tiap petak.  Ada tiga perlakuan jarak tanam, yakni 50x100 cm (JT1); 75x100 cm (JT2) dan 100x100 cm (JT3).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rumput gajah kerdil di Sei Putih relatif lebih pendek dengan daun lebih lebar dan jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan rumput gajah kerdil yang ditanam di Siborong-borong, Tapanuli Utara. Produksi segar tajuk rumput gajah kerdil yang ditanam di Sei Putih pada pemanenan akhir bulan Oktober 2013 adalah 2,2-3,2 kg/tanaman/panen. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada pemanenan akhir di Siborong-borong, yaitu 1,1-1,6 kg/tanaman/panen. Jarak tanam mempengaruhi produksi segar per tanaman per panen. Produksi segar per tanaman pada JT1 lebih rendah dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya (JT2 dan JT3). Namun, dengan jarak tanam yang lebih rapat, jumlah tanaman pada perlakuan JT1 lebih banyak dibandingkan dengan JT2 dan JT3, sehingga ketika dikonversi ke produksi per plot maupun per hektar, produksi segar tajuk pada JT1 lebih tinggi dibanding JT2 dan JT3. Hasil analisis kimiawi menunjukkan nilai nutrisi rumput gajah kerdil (RGK) yang ditanam di Siborong-borong lebih baik dibandingkan yang di Sei Putih. Kandungan protein kasar RGK di Siborong-borong (17-19%) lebih tinggi dibanding RGK di Sei Putih (11-14%). Hal ini disebabkan RGK di Siborong-borong mengalami gangguan pada awal pertumbuhan dan relatif lebih muda dibanding RGK Sei Putih saat analisis dilakukan.

Puslitbangnak

Jumat, Juni 05, 2015

Potensi Tanaman Pulai Sebagai Pakan Ternak

Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati termasuk spesies tanaman yang dapat digunakan sebagai obat/tanaman obat; salah satunya adalah tanaman pulai (Alstonia scholaris [L.] R. Br.) yang dikenal dengan nama umum kayu gabus. Pulai yang termasuk suku kamboja-kambojaan, tersebar di seluruh Nusantara. Di Jawa pulai tumbuh di hutan jati, hutan campuran dan hutan kecil di pedesaan, ditemukan dari dataran rendah sampai 900 m dpl. Pulai kadang ditanam di pekarangan dekat pagar atau ditanam sebagai pohon hias. Tanaman pulai ini banyak dikembangkan oleh Badan Litbang Kehutanan.

Pemanfaatan tanaman ini beranekaragam, baik sebagai bahan untuk pembuatan furniture maupun untuk obat-obatan. Beberapa penyakit yang dapat diobati dengan menggunakan tanaman pulai adalah: demam, malaria, limpa membesar, batuk berdahak, diare, disentri, kurang nafsu makan, perut kembung, sakit perut, kolik, anemia, kencing manis (diabetes melitus), wasir, gangguan haid, bisul, tekanan darah tinggi (Hipertensi), rematik akut, borok (ulcer), beri-beri, masa nifas, dan payudara bengkak karena ASI.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa tanaman pulai juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan penyakit scabies pada ternak kambing. Salah satu faktor yang penting dalam peningkatan produksi ternak terutama ternak kambing adalah penyediaan tanaman pakan ternak yang berkualitas secara kontinu serta berkelanjutan. Salah satu cara penyediaan tanaman pulai secara kontinu adalah melalui budidaya tanaman tersebut. Budidaya tanaman pulai dapat dilakukan baik secara generatif maupun vegetatif. Penyediaan bibit berkualitas secara generatif  masih terhambat karena belum adanya sumber benih yang sudah diuji. Oleh karena itu bibit dapat diperoleh dari pohon induk. Teknik ini sangat penting karena akan mempertahankan genotif jenis-jenis pohon yang melakukan penyerbukan silang dan berdaur panjang. Teknik pembiakan vegetatif pulai dapat dilakukan dengan cara stek cabang dan stek pucuk, Tingkat keberhasilan stek pucuk dapat mencapai 89%.
Di Indonesia pulai (Alstonia scholaris) biasanya berbunga dan berbuah antara bulan Mei sampai Agustus. Pulai berbiji sangat banyak rata-rata tiap kilogram biji kering berisi 500.000 butir.

Produksi segar tanaman Pulai (Alstonia scholaris) per panen yang diperoleh pada intensitas pemotongan 120 cm dan interval panen 90 hari dengan jarak tanam 2 meter x 3 meter, yakni sebanyak 4,83 kg/phn/panen, atau menghasilkan sebanyak 32,34 ton/ha/tahun. Proporsi daun dibandingkan dengan batang pada tanaman pulai relatif bagus yakni 0,42. Proporsi daun ini penting diketahui, sebab umumnya bagian tanaman yang dikonsumsi ternak dan lebih palatabel (disukai) adalah daun. Disamping itu kandungan nutrien daun lebih baik dibanding batang. Daun merupakan bagian tanaman tempat berlangsungnya proses fotosintesis maupun sintesa protein.

Kualitas hijauan pakan ternak tanaman pulai ditunjukan dengan kandungan nutrisi yang terdapat dalam hijauan tersebut yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kandungan protein kasar, serat deterjen netral dan serat deterjen asam tanaman pulai berturut-turut sebesar 18%, 25%, dan 17%. Kandungan bahan organik tanaman pulai dalam penelitian ini berkisar antara 91-92% setara dengan kandungan bahan organik pada G.sepium 87-91% dan S. sesban 89-90% yang dipotong pada umur 6 minggu. Terlihat dari kualitas yang dimiliki, tanaman pulai (Alstonia scholaris) sangat berpotensi sebagai sumber pakan ternak, serta merupakan alternatif sumber protein murah untuk peningkatan produktivitas ternak ruminansia.

Kandungan tanin pada tanaman pulai mencapai 0,67%, tanin terkondensasi (condensed tanin) 0,009% dan saponin 1,92%. Komponen sekunder pada tanaman pulai relatif rendah, sehingga diharapkan ternak yang mengkonsumsi tanaman ini tidak akan mengalami ganggguan dalam pertumbuhannya.

Puslitbangnak